MAKALAH
MUHAMMAD
ABDUH
Disusun guna memenuhi tugas
:
Mata Kuliah :
Studi Tokoh Pendidikan Islam
Dosen
pengampu : Moch. Iskarim, M.S.I
Disusun oleh :
1. Tri Indah Pamuji 2021110198
2. Any Maftukhah 2021110201
3. Salafudin 2021110207
Kelas: G
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Muhammad Abduh adalah tokoh pembaru yang tidak asing lagi,
dunia Islam dan Barat mengakuinya, bahkan sering dijadikan rujukan dalam
pembahasan ke-Islaman. Ia dilahirkan dalam situasi dimana dunia Barat
gencar-gencarnya melakukan kegiatan ekspansi ke daerah-daerah Islam, termasuk
Mesir.
Muhammad Abduh dilahirkan dalam situasi dan kondisi seperti
di atas, sehingga ia termotivasi untuk ikut memberikan respons dan mengadakan
perbaikan di pelbagai bidang, terutama pendidikan. Di bidang pendidikan, al-Azharlah
yang menjadi target utama Muhammad Abduh.
Dalam makalah yang sangat sederhana ini, kami mencoba
memaparkan dan menganalisa apa yang kami baca tentang Muhammad Abduh dan
Pendidikan. Pembahasan makalah ini meliputi biografi singkat Muhammad Abduh;
konsep pendidikan Muhammad Abduh, yang meliputi: tujuan pendidikan Islam; dan
kurikulum pendidikan Islam.
Dengan penuh sadar, kami mengakui banyak terdapat kekurangan dalam makalah ini.
Sebab itu, kami sangat mengharapkan kritikan yang konstruktif, masukan dan
sumbangan informasi yang berargumentasi dan bereferensi, sehingga perbaikan
makalah ini layak untuk dinikmati oleh banyak orang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi
Nama
lengkap Muhammad Abduh adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah.[1]Ia
lahir di sebuah kampung bernama Mahallat al-Asr, kawasan Subrakhit, provinsi
Al-Bahirah Mesir pada tahun 1849 M/1266
H dan wafat pada tahun 1905 M/1322 H. Ayahnya adalah seorang keturunan Turki
yang telah lama menetap di Mesir, sedangkan Ibunya adalah seorang Arab yang menurut
silsilah masih keturunan Umar bin al-Khattab, khalifah kedua dalam Islam
setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
Pendidikan
dasar Abduh ditangani langsung oleh ayahnya yang mengajarkan membaca dan
menulis serta ilmu-ilmu ke-Islaman. Selanjutnya ia belajar menghafal al-Qur’an
dibawah bimbingan seorang hafiz. Selama dua tahun Abduh berhasil menghafal
al-Qur’an dengan sempurna. Selanjutnya dalam usia 15 tahun ia dikirim ayahnya
ke Madrasah al-Ahmadi di Thantha untuk belajar agama.
Setahun
berikutnya dalam usia 16 tahun Abduh dinikahkan oleh orangtuanya. Namun demikian
ayahnya tetap mengharapkan ia untuk melanjutkan pelajaran dan mengirimnya
kembali ke Thantha. Tetapi ia tidak berangkat ke Thantha, ia berangkat ke
sebuah desa bernama Kanisah Urin tempat tinggal keluarga ayahnya. Disini ia bertemu
pamannya yaitu Syekh Darwisy seorang penganut tarekat Syadziliyah yang
mempunyai wawasan pengetahuan yang dalam.
Salah
satu keistimewaan yang diajarkan Syekh Darwisy adalah bahwa ia mengajak Abduh
untuk berdiskusi terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul. Ia mengajak
Abduh untuk menelaah suatu kitab, lalu menguraikan apa maksudnya. Setelah
memperoleh sentuhan dari Syekh Darwisy, ia akhirnya kembali ke Thantha untuk
meneruskan pelajaran. Tamat dari Thantha barulah ia masuk Universitas al-Azhar,
Kairo pada tahun 1866.[2]
Ketika pada tahun 1871 ia bertemu dengan Jamaluddin al-Afghani. Jamaluddin
al-Afghani merupakan tokoh terkemuka di Mesir, sang penggagas kebebasan
berpikir dalam bidang agama dan politik. Abduh banyak tertarik untuk belajar
padanya dan akhirnya terlaksana mulai tahun 1879. Sejak itulah Abduh selain
menjadi mahasiswa al-Azhar juga menjadi murid al-Afghani. Berkat usahanya yang
keras dan pengalamannya yang luas, Abduh lulus dari al-Azhar dengan gelar ‘Alimiyah
pada tahun 1877. Gelar tersebut memberikan hak untuk memakai pangkat al-‘alim
yang berarti mempunyai hak untuk mengajar, terutama dalam bidang logika, ilmu
kalam (teologi), dan moral (etika). Ia mengajar di Darul ‘Ulum kemudian ia juga
mengajar di rumahnya sendiri.[3]
Puncak
karir Muhammad Abduh dalam pembaruannya, terutama di bidang pendidikan adalah
ketika ia ditugaskan menjadi seorang mufti pertama Mesir. Posisi ini
diperolehnya pada 03 Juni 1899 M. Pada tanggal 11 Juli 1905 M, di Aleksanderia
beliau meninggal dunia. Pada saat itu usianya 57 tahun, meninggalkan tiga orang
putri, ratusan atau bahkan ribuan murid, dan meninggalkan banyak buah pikir
yang dapat membawa perubahan dunia Islam ke arah yang lebih baik. Jasadnya
telah pergi, namun selamanya ia akan tetap hidup, dikenang orang banyak.[4]
B. Setting Sosial
Muhammad Abduh
adalah seorang pemikir, teolog, mufti, dan pembaru Islam di Mesir pada akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20. Ia lahir di lingkungan keluarga petani yang
hidup sederhana, taat, dan cinta ilmu pengetahuan.[5]
Kelahirannya bersamaan dengan masa ketidakadilan dan ketidakamanan di Mesir.
Ketika itu, Mesir berada dibawah kekuasaan Muhammad Ali Pasha. Salah satu
kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat Mesir waktu itu adalah tingginya
pajak tanah. Ia diusir ke Gharbiyah Mesir selama 15 tahun karena sikap
menentang orangtuanya terhadap pungutan pajak tanah yang dianggapnya terlalu
tinggi tersebut.[6]
Selain itu ia juga lahir dalam situasi dimana dunia Barat gencar-gencarnya
melakukan kegiatan ekspansi ke daerah-daerah Islam, termasuk Mesir.
Pada masa
Muhammad Abduh, ada dua golongan ekstrim yakni mempertahankan tradisi
Arab-Islam, dan mengadakan pembaruan yang murni merujuk pada Barat, sehingga
nyaris melupakan nilai-nilai Timur dan Islam. Hal tersebut, termasuk di bidang
pendidikan.
Melihat realita
ini, Muhammad Abduh merasa gerah, dan termotivasi untuk melakukan pembaruan di
pelbagai literatur kehidupan, termasuk pendidikan yang menjadi target utamanya.
Beliau pernah menyatakan bahwa pendidikan adalah segala sesuatu, atas
fondasinya terbangun segala sesuatu, semuanya hilang karena kehilangan ilmu,
semuanya ada karena adanya ilmu.
Ketika Jamaluddin
al-Afghani datang ke Mesir pada tahun 1871 M. Muhammad Abduh giat belajar dan
mendengar segala ide pembaruan darinya.
Semenjak itu Muhammad Abduh bekerja sama dengan Afghani untuk mengadakan
pembaruan terhadap Islam melalui majalah al-Urwah
al-Wutsqa.[7]
C. Konsep Pembaruan Muhammad Abduh
1. Purifikasi
Purifikasi
atau pemurnian ajaran islam telah mendapat tekanan serius dari muhammad abduh
berkaitan dengan munculnya bid’ah dan khurafah yang masuk dalam kehidupan
beragama kaum muslim. Dalam pandangan Muhammad Abduh, seorang muslim diwajibkan
menghindarkan diri dari perbuatan syirik.
2. Reformasi
Reformasi
pendidikan tinggi islam difokuskan Muhammad Abduh pada universitas
almamaternya, al-Azhar. Muhammad Abduh menyatakan bahwa kewajiban belajar itu
tidak hanya mempelajari buku-buku klasik berbahasa arab yang berisi dogma ilmu
kalam untuk membela Islam. Akan tetapi, kewajiban belajar juga terletak pada
mempelajari sians-sains modern, serta sejarah dan agama Eropa, agar diketahui
sebab-sebab kemajuan yang telah mereka capai. Usaha awal reformasi Muhammad
Abduh adalah memperjuangkan mata kuliah filsafat agar di ajarkan di al-Azhar.
Dengan belajar filsafat, semangat intelektualisme Islam yang padam diharapkan
dapat dihidupkan kembali.
3. Pembela Islam
Muhammad
Abduh lewat risalah Al-Tauhidnya tetap mempertahankan potret dari Islam.
Hasratnya untuk menghilangkan unsur-unsur asing merupakan bukti bahwa dia tetap
yakin dengan kemandirian Islam. Muhammad Abduh terlihat tidak pernah menaruh
perhatian terhadap paham-paham filsafat anti agama yang marak di Eropa.
Muhammad Abduh berusaha mempertahankan potret Islam dengan menegaskan bahwa
jika pikiran dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Hasil yang dicapainya otomatis
akan selaras dengan kebenaran Ilahi yang dipelajari melalui agama.
4. Reformulasi
Reformulasi
dilaksanakan Muhammad Abduh dengan cara membuka kembali pintu ijtihadd.
Menurutnya, kemunduran kaum muslim disebabkan oleh dua faktor, yaitu internal
dan eksternal. Muhammad Abduh dengan reformulasinya menegaskan bahwa Islam telah
membangkitkan akal pikiran manusia dari tidur panjangnya. Manusia tercipta
dalam keadaan tidak terkekang.[8]
D. Pemikiran Muhammad Abduh tentang
Pendidikan
1. Tujuan Pendidikan
Menurut
Abduh tujuan pendidikan adalah mendidik akal dan jiwa dan menyampaikannya pada
batas – batas kemungkinan seorang mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dari
rumusan tujuan pendidikan tersebut, dapat dipahami bahwa yang ingin dicapai
oleh Muhammad Abduh adalah tujuan yang mencakup aspek kognitif (akal) dan aspek
afektif (spritual).[9]
Pendidikan
akal ditujukan sebagai alat untuk menanamkan kebiasaan berfikir dan dapat membedakan
yang baik dan yang buruk, antara membawa kemaslahatan dan kemudharatan. Dengan
hal ini, Muhammad Abduh berharap kemandekan berfikir yang melanda umat Islam
pada saat itu dapat terkikis. Sedangkan penggabungan dengan tujuan spiritual
(afektif), diharapkan dapat melahirkan generasi baru yang berintelektual
tinggi, berpikir kritis, tetapi juga memiliki akhlak yang mulia dan berjiwa
bersih. Sehingga sikap-sikap yang mencerminkan kerendahan moral dapat
terhapuskan.
Menurut
Abduh, apabila kedua aspek tersebut dididik dan dikembangkan, dalam arti akal
dicerdaskan dan jiwa dididik dengan akhlak agama, maka umat Islam akan bangkit
dan dapat berpacu serta dapat mengimbangi bangsa-bangsa yang telah maju
kebudayaannya.[10]
2.
Kurikulum Pendidikan
a. Tingkat Sekolah Dasar
Abduh
beranggapan bahwa dasar pembentukan jiwa agama hendaknya dimulai dari usia
dini, yakni masa kanak-kanak. Oleh sebab itu, mata pelajaran agama dijadikan
sebagai inti semua mata pelajaran. Pandangan ini mengacu pada anggapan bahwa
ajaran agama Islam merupakan dasar pembentukan jiwa dan pribadi muslim. Dengan
memiliki jiwa kepribadian muslim, manusia khususnya rakyat Mesir pada waktu
itu, akan memiliki jiwa kebersamaan dan nasionalisme untuk dapat membangkitkan
sikap hidup yang lebih baik, sekaligus dapat meraih kemajuan.
b. Tingkat Menengah Atas
Dalam
hal ini, upaya yang dilakukan Abduh adalah dengan mendirikan sekolah menengah
pemerintah untuk menghasilkan ahli dalam pelbagai lapangan, seperti
administrasi, militer, kesehatan, perindustrian, dan lain sebagainya. Melalui lembaga pendidikan ini, Abduh
merasa perlu memasukkan materi pelajaran agama, sejarah Islam, dan kebudayaan
Islam. Di madrasah-madrasah yang berada dalam naungan Al-Azhar, Muhammad Abduh
memasukkan pelajaran mantik, falsafah, dan tauhid. Sebelum itu, Al-Azhar
menganggap pelajaran falsafah dan mantik adalah pelajaran yang haram diajarkan
dan dipelajari. Sedangkan di rumahnya, ia mengajarkan buku Tahdzib al-Akhlak karya Ibnu Miskawaih, dan buku sejarah peradaban
Eropa yang telah diterjemahkan dalam bahasa Arab, dengan judul at-Tuhfat al-Adabiyah fi Tarikh Tamaddun
al-Mamalik al-Arabiah.
c. Universitas Al-Azhar
Kurikulum
perguruan tinggi di Al-Azhar disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat pada saat
itu. Dalam hal ini, Abduh memasukkan mata kuliah ilmu filsafat, ilmu logika,
dan ilmu pengetahuan modern ke dalam kurikulum Al-Azhar. Hal ini dilakukannya
agar output Al-Azhar dapat menjadi ulama modern, yang sesuai dengan
zaman dan kondisi mereka hidup.
3. Metode pengajaran
Muhammad Abduh
mengubah metode menghafal dengan metode rasional dan pemahaman (Insight).
Siswa disamping menghafal juga memahami tentang materi yang dihafalkannya. Ia
juga menghidupkan kembali metode munazarah dalam memahami ilmu pengetahuan dan
menjauhkan metode taqlid buta terhadap para ulama’. Ia juga mengembangkan
kebebasan ilmiah di kalangan mahasiswa al-Azhar.[11]
4. Konsep Pendidik dan Peserta Didik
Mengenai
pendidik, Muhammad Abduh menyatakan bahwa hendaknya seorang pendidik mempunyai
akhlak yang baik (akhlak mahmudah), bahkan dianjurkan agar meneladani sifat –
sifat yang dimiliki Rasulullah, selain itu guru juga harus mempunyai akidah
yang baik, bijaksana, berani, dan energik, sehingga dapat melaksanakan
tugasnya.
Kemudian
mengenai peserta didik, Muhammad Abduh berpendapat bahwa setiap individu
memiliki potensi fitrah yang baik. Manusia dalam hal ini anak didik dilahirkan
dengan memiliki potensi-potensi. Dalam kata lain, manusia lahir ke dunia ini
tidak seperti kertas kosong sebagaimana dalam teori tabularasa.
Muhammad
Abduh juga menyatakan Potensi bawaan (fitrah) ada yang bersifat aqliyah dan ada
yang bersifat nafsiyah. Fitrah nafsiyah atau ilahiyah manusia sesungguhnya
adalah sama, tetapi fitrah aqliyah mereka dapat berbeda. Di antara
potensi-potensi lahiriyah (bawaan) manusia, khususnya potensi aqliyahnya tidak
berkembang begitu saja tanpa ada proses pendidikan. Artinya, potensi aqliyah
tidak berfungsi sempurna tanpa adanya proses pendidikan.
Oleh
sebab itu, pendidikan adalah sarana untuk mengembangkan potensi aqliyah manusia
itu. Pada tahap ini, Muhammad Abduh dekat pada aliran konvergensi. Dan mengenai
tugas dari peserta didik dalam pendidikan adalah bersungguh – sungguh dan tekun
belajar serta mempunyai sikap disiplin.[12]
E. Ide Pokok
1. Sistem dan Struktur Lembaga Pendidikan
Dalam
pandangan Abduh, Ia melihat semenjak masa kemunduran Islam, sistem pendidikan
yang berlaku di seluruh dunia Islam lebih bercorak dualisme. Corak tersebut
lebih memunculkan efek negatif pada dunia pendidikan. Usaha yang dilakukan oleh
Abduh dalam hal ini adalah dengan melakukan lintas disiplin ilmu antar
kurikulum madrasah dan sekolah. Sehingga jurang pemisah antara golongan ulama’
dan ilmuan modern dapat diperkecil.
Pembaruan
pendidikan ini dilakukan dengan menata kembali struktur pendidikan di Al-Azhar,
kemudian di sejumlah institusi pendidikan lain yang berada di Thanta, Dassuq,
Dimyat, dan Iskandariyah.[13]
2. Pendidikan bagi Perempuan
Pemikiran
Muhammad Abduh yang lain adalah tentang pendidikan perempuan.
Menurutnya perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki baik dalam hal
yang bersifat keduniaan maupun keagamaan, sesuai dengan firman Allah swt QS.
Al-Baqarah: 228 dan QS. Al-Ahzab: 35. Sehingga sudah sepatutnya para perempuan
mengenyam pendidikan agar terbebas dari rantai kebodohan.[14]
F. Analisa Pemikiran
Muhammad Abduh
adalah sosok pembaru Islam abad 19 M/20 M yang mengusung rasionalitas dalam
beragama. Ia ingin menghilangkan kejumudan dalam pendidikan dengan tujuan
pendidikan, mendidik akal dan jiwa serta menyampaikannya kepada batas-batas
kemungkinan seseorang dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Dengan
mengkonsentrasikan pada akal dan jiwa, Abduh berharap adanya keseimbangan dalam
hidup dan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Di samping hidup berwibawa
dengan akal yang cerdas, umat Islam juga berperilaku baik yang sesuai dengan
ajaran syari'at.
Untuk mencapai
tujuan demikian, maka ia menggagas kurikulum berbasis sains dan falsafah yang
banyak menggunakan akal, dan tanpa meninggalkan pelajaran-pelajaran yang
bersifat agama.
Melihat tujuan
yang digagas Muhammad Abduh di atas jika ditelaah secara mendalam tersirat
kesesuaian dengan tujuan pendidikan Nasional Indonesia yakni yang tertuang
dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 Sistim Pendidikan Nasional yang berbunyi tujuan pendidikan
Nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa serta membentuk peserta didik
yang memiliki iman dan takwa.
Metode yang
digunakan dalam pembelajaran Muhammad Abduh, lebih terkonsentrasi pada metode
munazarah. Karena diharapkan murid dapat menganalisa informasi yang
didapat. Hal ini benar kiranya, terbukti di Indonesia sendiri para guru
banyak menerapkan metode munazarah di kelasnya.
Muhammad Abduh melakukan pembaruan dalam pendidikan Islam
dengan cara mengintegrasikan antara ilmu umum dengan ilmu agama. Pendidikan
baginya bukan hanya bertujuan mengembangkan aspek kognitif (akal) semata,
tetapi juga perlu menyelaraskan dengan aspek afektif (moral) dan psikomotorik
(keterampilan). Sehingga umat Islam terhindar dari kejumudan, keterbelakangan
dalam berfikir dan taklid yang berlebihan.
Selain itu
Muhammad Abduh juga berusaha untuk mengangkat martabat perempuan dengan
pendidikan. Relevan kiranya hal tersebut diterapkan karena pendidikan adalah
segala-galanya. Apalagi perempuan adalah guru pertama bagi umat manusia,
sebelum ia mengenal dunia sekolah formal dan masyarakat.
Jadi dengan
adanya konsep pembaruan Muhammad Abduh yang mengusung pemurnian Islam dari
berbagai pengaruh ajaran dana amalan yang tidak benar yakni dengan Purifikasi,
Reformasi, Pembela Islam, dan Reformulasi ini yang melahirkan Muhammad Abduh
kepada pemikirannya tentang pendidikan.
Relevansi
pemikiran pendidikan Muhammad Abduh dalam konteks pendidikan masa kini atau
zaman sekarang adalah sudah atau telah di terapkan di Indonesia maupun
diseluruh negara. Karena dari segi tujuan pendidikan yang ingin dicapainya yakni
tujuan yang mencakup aspek kognitif, afektif, serta psikomotor, telah menjadi
tujuan pendidikan di Indonesia bahkan diseluruh negara. Selain itu metode pengajarannya
juga sering digunakan pada zaman sekarang yakni metode munazaroh atau diskusi karena
selain meningkatkan kemampuan otak yang melahirkan pendapat-pendapat baru yang
luas juga meningkatkan kemampuan bersosialisasi.
Dengan adanya
pemikiran pendidikan muhammad Abduh yang telah menjadi acuan, maka pendidikan
di seluruh negarapun khususnya di Mesir akhirnya terus berbenah dan terus
berusaha agar menjadi yang lebih baik lagi.
BAB III
PENUTUP
Nama
lengkap Muhammad Abduh adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Ia lahir
disebuah kampung bernama Mahallat al-Asr, kawasan Subrakhit, provinsi
Al-Bahirah Mesir pada tahun 1849 M/1266
H dan wafat pada tahun 1905 M/1322 H. Muhammad Abduh adalah seorang pemikir,
teolog, mufti, dan pembaru Islam di Mesir pada akhir abad ke-19 dan awal abad
ke-20. Ia dilahirkan dalam situasi dimana dunia Barat gencar-gencarnya
melakukan kegiatan ekspansi ke daerah-daerah Islam, termasuk Mesir.
Pemikiran
Muhammad Abduh tentang pendidikan yang pertama mencakup tujuan pendidikan, menurut
Abduh tujuan pendidikan adalah mendidik akal dan jiwa dan menyampaikannya pada
batas – batas kemungkinan seorang mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Jadi yang
ingin dicapai oleh Muhammad Abduh adalah tujuan yang mencakup aspek kognitif
(akal) dan aspek afektif (spritual). Yang kedua kurikulum. Kurikulum yang
dirumuskannya adalah pada tingkat sekolah dasar diberikannya pelajaran agama,
pada tingkat menengah terdapat pelajaran mantik dan dasar – dasar penalaran,
dan pada tingkat atas terdapat pelajaran tentang ilmu filsafat, logika, dan
pengetahuan modern. Dan ketiga metode pengajarannya, ia mengubah metode
menghafal dengan metode rasional dan pemahaman (Insight). Ia juga
menghidupkan kembali metode munazarah dalam memahami ilmu pengetahuan dan
menjauhkan metode taqlid buta terhadap para ulama’.
Muhammad Abduh memberikan
gagasannya tentang sistem dan struktur lembaga pendidikan, usaha yang
dilakukannya adalah dengan melakukan lintas disiplin ilmu antar kurikulum
madrasah dan sekolah. Selain itu ia juga memberikan gagasan tentang pendidikan
perempuan yang menurutnya mempunyai hak yang sama dengan laki-laki baik dalam
hal yang bersifat keduniaan maupun keagamaan.
DAFTAR PUSTAKA
Assegaf, Abdurrachman dan Suryadi. 2008. Pendidikan Islam
Mazhab Kritis. Yogyakarta: Gama Media.
Iqbal, Muhammad dan Amin Husein Nasution. 2010. Pemikir
Politik Islam: Dari Masa Klasik Higga Indonesia Kontemporer. Jakarta:
Kencana.
Kurniawan, Syamsul dan Erwin Mahrus. 2011. Jejak
Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Nizar, Samsul. 2007. Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri
Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia. Jakarta: Kencana.
Ramayulis dan Samsul Nizar. 2005. Tokoh Pendidikan Islam.
Jakarta: Quantum Teaching.
Arifin, Muhammad. 2012. “Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad
Abduh”. http://arjah.blogspot.com/2012/04/pemikiran-pendidikan-islam-muhammad.html.
diakses tanggal 05/03/2013.
Purwanto, Joko.
2011. “Pemikiran
Pendidikan Muhammad Abduh”. http://blog.uin-malang.ac.id/jokopurwanto/2011/05/01/pemikiran-pendidikan-muhammad-abduh/. diakses
tanggal 08/03/2013.
[1]Abdurrachman Assegaf dan
Suryadi, Pendidikan Islam Mazhab Kritis (Yogyakarta: Gama Media, 2008),
hal. 19.
[2] Muhammad Iqbal dan Amin
Husein Nasution, Pemikir Politik Islam: Dari Masa Klasik Higga Indonesia
Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 68 – 69.
[3]Abdurrachman Assegaf dan
Suryadi, Op. Cit., hal. 21.
[4]Muhammad Arifin, “Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Abduh”, http://arjah.blogspot.com/2012/04/pemikiran-pendidikan-islam-muhammad.html, (04/04/2013), diakses tanggal
05/03/2013.
[5] Samsul Nizar, Sejarah
Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia
(Jakarta: Kencana, 2007) hal. 240.
[6] Abdurrachman Assegaf dan
Suryadi, Pendidikan Islam Mazhab Kritis (Yogyakarta: Gama Media, 2008),
hal. 19.
[7]Muhammad Arifin, “Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Abduh”, http://arjah.blogspot.com/2012/04/pemikiran-pendidikan-islam-muhammad.html, (04/04/2013), diakses tanggal
05/03/2013.
[8] Samsul Nizar, Sejarah
Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia
(Jakarta: Kencana, 2007) hal. 246 – 247.
[9]Syamsul Kurniawan dan Erwin
Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2011) hal.123
[10]Muhammad Arifin, “Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Abduh”, http://arjah.blogspot.com/2012/04/pemikiran-pendidikan-islam-muhammad.html, (04/04/2012), diakses tanggal
05/03/2013.
[11]Ramayulis dan Samsul
Nizar, Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: Quantum Teaching, 2005) hal. 47
- 48
[12]Joko
Purwanto, “Pemikiran Pendidikan Muhammad Abduh”, http://blog.uin-malang.ac.id/jokopurwanto/2011/05/01/pemikiran-pendidikan-muhammad-abduh/, (01/05/2011),
diakses tanggal 08/03/2013.
[13]Ramayulis dan Samsul Nizar,
Op. Cit., hal. 46
[14]Samsul Nizar, Sejarah
Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai
Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007) hal. 250-251
Tidak ada komentar:
Posting Komentar