Minggu, 09 Juni 2013

Muhammad Abduh



MAKALAH
MUHAMMAD ABDUH
Disusun guna memenuhi tugas :
Mata Kuliah              : Studi Tokoh Pendidikan Islam
Dosen pengampu      : Moch. Iskarim, M.S.I






Disusun oleh :
1.    Tri Indah Pamuji                   2021110198
2.    Any Maftukhah                     2021110201
3.    Salafudin                               2021110207

Kelas: G

JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2013

BAB I
PENDAHULUAN

Muhammad Abduh adalah tokoh pembaru yang tidak asing lagi, dunia Islam dan Barat mengakuinya, bahkan sering dijadikan rujukan dalam pembahasan ke-Islaman. Ia dilahirkan dalam situasi dimana dunia Barat gencar-gencarnya melakukan kegiatan ekspansi ke daerah-daerah Islam, termasuk Mesir.
Muhammad Abduh dilahirkan dalam situasi dan kondisi seperti di atas, sehingga ia termotivasi untuk ikut memberikan respons dan mengadakan perbaikan di pelbagai bidang, terutama pendidikan. Di bidang pendidikan, al-Azharlah yang menjadi target utama Muhammad Abduh.
Dalam makalah yang sangat sederhana ini, kami mencoba memaparkan dan menganalisa apa yang kami baca tentang Muhammad Abduh dan Pendidikan. Pembahasan makalah ini meliputi biografi singkat Muhammad Abduh; konsep pendidikan Muhammad Abduh, yang meliputi: tujuan pendidikan Islam; dan kurikulum pendidikan Islam.
            Dengan penuh sadar, kami mengakui banyak terdapat kekurangan dalam makalah ini. Sebab itu, kami sangat mengharapkan kritikan yang konstruktif, masukan dan sumbangan informasi yang berargumentasi dan bereferensi, sehingga perbaikan makalah ini layak untuk dinikmati oleh banyak orang.


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Biografi
Nama lengkap Muhammad Abduh adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah.[1]Ia lahir di sebuah kampung bernama Mahallat al-Asr, kawasan Subrakhit, provinsi Al-Bahirah  Mesir pada tahun 1849 M/1266 H dan wafat pada tahun 1905 M/1322 H. Ayahnya adalah seorang keturunan Turki yang telah lama menetap di Mesir, sedangkan Ibunya adalah seorang Arab yang menurut silsilah masih keturunan Umar bin al-Khattab, khalifah kedua dalam Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
Pendidikan dasar Abduh ditangani langsung oleh ayahnya yang mengajarkan membaca dan menulis serta ilmu-ilmu ke-Islaman. Selanjutnya ia belajar menghafal al-Qur’an dibawah bimbingan seorang hafiz. Selama dua tahun Abduh berhasil menghafal al-Qur’an dengan sempurna. Selanjutnya dalam usia 15 tahun ia dikirim ayahnya ke Madrasah al-Ahmadi di Thantha untuk belajar agama.
Setahun berikutnya dalam usia 16 tahun Abduh dinikahkan oleh orangtuanya. Namun demikian ayahnya tetap mengharapkan ia untuk melanjutkan pelajaran dan mengirimnya kembali ke Thantha. Tetapi ia tidak berangkat ke Thantha, ia berangkat ke sebuah desa bernama Kanisah Urin tempat tinggal keluarga ayahnya. Disini ia bertemu pamannya yaitu Syekh Darwisy seorang penganut tarekat Syadziliyah yang mempunyai wawasan pengetahuan yang dalam.
Salah satu keistimewaan yang diajarkan Syekh Darwisy adalah bahwa ia mengajak Abduh untuk berdiskusi terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul. Ia mengajak Abduh untuk menelaah suatu kitab, lalu menguraikan apa maksudnya. Setelah memperoleh sentuhan dari Syekh Darwisy, ia akhirnya kembali ke Thantha untuk meneruskan pelajaran. Tamat dari Thantha barulah ia masuk Universitas al-Azhar, Kairo pada tahun 1866.[2] Ketika pada tahun 1871 ia bertemu dengan Jamaluddin al-Afghani. Jamaluddin al-Afghani merupakan tokoh terkemuka di Mesir, sang penggagas kebebasan berpikir dalam bidang agama dan politik. Abduh banyak tertarik untuk belajar padanya dan akhirnya terlaksana mulai tahun 1879. Sejak itulah Abduh selain menjadi mahasiswa al-Azhar juga menjadi murid al-Afghani. Berkat usahanya yang keras dan pengalamannya yang luas, Abduh lulus dari al-Azhar dengan gelar ‘Alimiyah pada tahun 1877. Gelar tersebut memberikan hak untuk memakai pangkat al-‘alim yang berarti mempunyai hak untuk mengajar, terutama dalam bidang logika, ilmu kalam (teologi), dan moral (etika). Ia mengajar di Darul ‘Ulum kemudian ia juga mengajar di rumahnya sendiri.[3]
Puncak karir Muhammad Abduh dalam pembaruannya, terutama di bidang pendidikan adalah ketika ia ditugaskan menjadi seorang mufti pertama Mesir. Posisi ini diperolehnya pada 03 Juni 1899 M. Pada tanggal 11 Juli 1905 M, di Aleksanderia beliau meninggal dunia. Pada saat itu usianya 57 tahun, meninggalkan tiga orang putri, ratusan atau bahkan ribuan murid, dan meninggalkan banyak buah pikir yang dapat membawa perubahan dunia Islam ke arah yang lebih baik. Jasadnya telah pergi, namun selamanya ia akan tetap hidup, dikenang orang banyak.[4]

B.  Setting Sosial
Muhammad Abduh adalah seorang pemikir, teolog, mufti, dan pembaru Islam di Mesir pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Ia lahir di lingkungan keluarga petani yang hidup sederhana, taat, dan cinta ilmu pengetahuan.[5] Kelahirannya bersamaan dengan masa ketidakadilan dan ketidakamanan di Mesir. Ketika itu, Mesir berada dibawah kekuasaan Muhammad Ali Pasha. Salah satu kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat Mesir waktu itu adalah tingginya pajak tanah. Ia diusir ke Gharbiyah Mesir selama 15 tahun karena sikap menentang orangtuanya terhadap pungutan pajak tanah yang dianggapnya terlalu tinggi tersebut.[6] Selain itu ia juga lahir dalam situasi dimana dunia Barat gencar-gencarnya melakukan kegiatan ekspansi ke daerah-daerah Islam, termasuk Mesir.
Pada masa Muhammad Abduh, ada dua golongan ekstrim yakni mempertahankan tradisi Arab-Islam, dan mengadakan pembaruan yang murni merujuk pada Barat, sehingga nyaris melupakan nilai-nilai Timur dan Islam. Hal tersebut, termasuk di bidang pendidikan.
Melihat realita ini, Muhammad Abduh merasa gerah, dan termotivasi untuk melakukan pembaruan di pelbagai literatur kehidupan, termasuk pendidikan yang menjadi target utamanya. Beliau pernah menyatakan bahwa pendidikan adalah segala sesuatu, atas fondasinya terbangun segala sesuatu, semuanya hilang karena kehilangan ilmu, semuanya ada karena adanya ilmu.
Ketika Jamaluddin al-Afghani datang ke Mesir pada tahun 1871 M. Muhammad Abduh giat belajar dan mendengar segala ide pembaruan darinya.  Semenjak itu Muhammad Abduh bekerja sama dengan Afghani untuk mengadakan pembaruan terhadap Islam melalui majalah al-Urwah al-Wutsqa.[7]

C.  Konsep Pembaruan Muhammad Abduh
1.    Purifikasi
Purifikasi atau pemurnian ajaran islam telah mendapat tekanan serius dari muhammad abduh berkaitan dengan munculnya bid’ah dan khurafah yang masuk dalam kehidupan beragama kaum muslim. Dalam pandangan Muhammad Abduh, seorang muslim diwajibkan menghindarkan diri dari perbuatan syirik.
2.      Reformasi
Reformasi pendidikan tinggi islam difokuskan Muhammad Abduh pada universitas almamaternya, al-Azhar. Muhammad Abduh menyatakan bahwa kewajiban belajar itu tidak hanya mempelajari buku-buku klasik berbahasa arab yang berisi dogma ilmu kalam untuk membela Islam. Akan tetapi, kewajiban belajar juga terletak pada mempelajari sians-sains modern, serta sejarah dan agama Eropa, agar diketahui sebab-sebab kemajuan yang telah mereka capai. Usaha awal reformasi Muhammad Abduh adalah memperjuangkan mata kuliah filsafat agar di ajarkan di al-Azhar. Dengan belajar filsafat, semangat intelektualisme Islam yang padam diharapkan dapat dihidupkan kembali.
3.      Pembela Islam
Muhammad Abduh lewat risalah Al-Tauhidnya tetap mempertahankan potret dari Islam. Hasratnya untuk menghilangkan unsur-unsur asing merupakan bukti bahwa dia tetap yakin dengan kemandirian Islam. Muhammad Abduh terlihat tidak pernah menaruh perhatian terhadap paham-paham filsafat anti agama yang marak di Eropa. Muhammad Abduh berusaha mempertahankan potret Islam dengan menegaskan bahwa jika pikiran dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Hasil yang dicapainya otomatis akan selaras dengan kebenaran Ilahi yang dipelajari melalui agama.
4.      Reformulasi
Reformulasi dilaksanakan Muhammad Abduh dengan cara membuka kembali pintu ijtihadd. Menurutnya, kemunduran kaum muslim disebabkan oleh dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Muhammad Abduh dengan reformulasinya menegaskan bahwa Islam telah membangkitkan akal pikiran manusia dari tidur panjangnya. Manusia tercipta dalam keadaan tidak terkekang.[8]



D.  Pemikiran Muhammad Abduh tentang Pendidikan
1.    Tujuan Pendidikan
Menurut Abduh tujuan pendidikan adalah mendidik akal dan jiwa dan menyampaikannya pada batas – batas kemungkinan seorang mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dari rumusan tujuan pendidikan tersebut, dapat dipahami bahwa yang ingin dicapai oleh Muhammad Abduh adalah tujuan yang mencakup aspek kognitif (akal) dan aspek afektif (spritual).[9]
Pendidikan akal ditujukan sebagai alat untuk menanamkan kebiasaan berfikir dan dapat membedakan yang baik dan yang buruk, antara membawa kemaslahatan dan kemudharatan. Dengan hal ini, Muhammad Abduh berharap kemandekan berfikir yang melanda umat Islam pada saat itu dapat terkikis. Sedangkan penggabungan dengan tujuan spiritual (afektif), diharapkan dapat melahirkan generasi baru yang berintelektual tinggi, berpikir kritis, tetapi juga memiliki akhlak yang mulia dan berjiwa bersih. Sehingga sikap-sikap yang mencerminkan kerendahan moral dapat terhapuskan.
Menurut Abduh, apabila kedua aspek tersebut dididik dan dikembangkan, dalam arti akal dicerdaskan dan jiwa dididik dengan akhlak agama, maka umat Islam akan bangkit dan dapat berpacu serta dapat mengimbangi bangsa-bangsa yang telah maju kebudayaannya.[10]
2.    Kurikulum Pendidikan
a.    Tingkat Sekolah Dasar
Abduh beranggapan bahwa dasar pembentukan jiwa agama hendaknya dimulai dari usia dini, yakni masa kanak-kanak. Oleh sebab itu, mata pelajaran agama dijadikan sebagai inti semua mata pelajaran. Pandangan ini mengacu pada anggapan bahwa ajaran agama Islam merupakan dasar pembentukan jiwa dan pribadi muslim. Dengan memiliki jiwa kepribadian muslim, manusia khususnya rakyat Mesir pada waktu itu, akan memiliki jiwa kebersamaan dan nasionalisme untuk dapat membangkitkan sikap hidup yang lebih baik, sekaligus dapat meraih kemajuan.

b.    Tingkat Menengah Atas
Dalam hal ini, upaya yang dilakukan Abduh adalah dengan mendirikan sekolah menengah pemerintah untuk menghasilkan ahli dalam pelbagai lapangan, seperti administrasi, militer, kesehatan, perindustrian, dan lain sebagainya. Melalui lembaga pendidikan ini, Abduh merasa perlu memasukkan materi pelajaran agama, sejarah Islam, dan kebudayaan Islam. Di madrasah-madrasah yang berada dalam naungan Al-Azhar, Muhammad Abduh memasukkan pelajaran mantik, falsafah, dan tauhid. Sebelum itu, Al-Azhar menganggap pelajaran falsafah dan mantik adalah pelajaran yang haram diajarkan dan dipelajari. Sedangkan di rumahnya, ia mengajarkan buku Tahdzib al-Akhlak karya Ibnu Miskawaih, dan buku sejarah peradaban Eropa yang telah diterjemahkan dalam bahasa Arab, dengan judul at-Tuhfat al-Adabiyah fi Tarikh Tamaddun al-Mamalik al-Arabiah.
c.    Universitas Al-Azhar
Kurikulum perguruan tinggi di Al-Azhar disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat pada saat itu. Dalam hal ini, Abduh memasukkan mata kuliah ilmu filsafat, ilmu logika, dan ilmu pengetahuan modern ke dalam kurikulum Al-Azhar. Hal ini dilakukannya agar output Al-Azhar dapat menjadi ulama modern, yang sesuai dengan zaman dan kondisi mereka hidup.
3. Metode pengajaran
Muhammad Abduh mengubah metode menghafal dengan metode rasional dan pemahaman (Insight). Siswa disamping menghafal juga memahami tentang materi yang dihafalkannya. Ia juga menghidupkan kembali metode munazarah dalam memahami ilmu pengetahuan dan menjauhkan metode taqlid buta terhadap para ulama’. Ia juga mengembangkan kebebasan ilmiah di kalangan  mahasiswa al-Azhar.[11]
4.    Konsep Pendidik dan Peserta Didik
Mengenai pendidik, Muhammad Abduh menyatakan bahwa hendaknya seorang pendidik mempunyai akhlak yang baik (akhlak mahmudah), bahkan dianjurkan agar meneladani sifat – sifat yang dimiliki Rasulullah, selain itu guru juga harus mempunyai akidah yang baik, bijaksana, berani, dan energik, sehingga dapat melaksanakan tugasnya.
Kemudian mengenai peserta didik, Muhammad Abduh berpendapat bahwa setiap individu memiliki potensi fitrah yang baik. Manusia dalam hal ini anak didik dilahirkan dengan memiliki potensi-potensi. Dalam kata lain, manusia lahir ke dunia ini tidak seperti kertas kosong sebagaimana dalam teori tabularasa.
Muhammad Abduh juga menyatakan Potensi bawaan (fitrah) ada yang bersifat aqliyah dan ada yang bersifat nafsiyah. Fitrah nafsiyah atau ilahiyah manusia sesungguhnya adalah sama, tetapi fitrah aqliyah mereka dapat berbeda. Di antara potensi-potensi lahiriyah (bawaan) manusia, khususnya potensi aqliyahnya tidak berkembang begitu saja tanpa ada proses pendidikan. Artinya, potensi aqliyah tidak berfungsi sempurna tanpa adanya proses pendidikan.
Oleh sebab itu, pendidikan adalah sarana untuk mengembangkan potensi aqliyah manusia itu. Pada tahap ini, Muhammad Abduh dekat pada aliran konvergensi. Dan mengenai tugas dari peserta didik dalam pendidikan adalah bersungguh – sungguh dan tekun belajar serta mempunyai sikap disiplin.[12]

E.   Ide Pokok
1.    Sistem dan Struktur Lembaga Pendidikan
Dalam pandangan Abduh, Ia melihat semenjak masa kemunduran Islam, sistem pendidikan yang berlaku di seluruh dunia Islam lebih bercorak dualisme. Corak tersebut lebih memunculkan efek negatif pada dunia pendidikan. Usaha yang dilakukan oleh Abduh dalam hal ini adalah dengan melakukan lintas disiplin ilmu antar kurikulum madrasah dan sekolah. Sehingga jurang pemisah antara golongan ulama’ dan ilmuan modern dapat diperkecil.
Pembaruan pendidikan ini dilakukan dengan menata kembali struktur pendidikan di Al-Azhar, kemudian di sejumlah institusi pendidikan lain yang berada di Thanta, Dassuq, Dimyat, dan Iskandariyah.[13]
2.    Pendidikan bagi Perempuan
Pemikiran Muhammad Abduh yang lain adalah tentang pendidikan perempuan. Menurutnya perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki baik dalam hal yang bersifat keduniaan maupun keagamaan, sesuai dengan firman Allah swt QS. Al-Baqarah: 228 dan QS. Al-Ahzab: 35. Sehingga sudah sepatutnya para perempuan mengenyam pendidikan agar terbebas dari rantai kebodohan.[14]

F.   Analisa Pemikiran
Muhammad Abduh adalah sosok pembaru Islam abad 19 M/20 M yang mengusung rasionalitas dalam beragama. Ia ingin menghilangkan kejumudan dalam pendidikan dengan tujuan pendidikan, mendidik akal dan jiwa serta menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.


Dengan mengkonsentrasikan pada akal dan jiwa, Abduh berharap adanya keseimbangan dalam hidup dan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Di samping hidup berwibawa dengan akal yang cerdas, umat Islam juga berperilaku baik yang sesuai dengan ajaran syari'at.
Untuk mencapai tujuan demikian, maka ia menggagas kurikulum berbasis sains dan falsafah yang banyak menggunakan akal, dan tanpa meninggalkan pelajaran-pelajaran yang bersifat agama.
Melihat tujuan yang digagas Muhammad Abduh di atas jika ditelaah secara mendalam tersirat kesesuaian dengan tujuan pendidikan Nasional Indonesia yakni yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Sistim Pendidikan Nasional yang berbunyi tujuan pendidikan Nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa serta membentuk peserta didik yang memiliki iman dan takwa.
Metode yang digunakan dalam pembelajaran Muhammad Abduh, lebih terkonsentrasi pada metode munazarah. Karena diharapkan murid dapat menganalisa informasi yang didapat. Hal ini benar kiranya, terbukti di Indonesia sendiri para guru banyak menerapkan metode munazarah di kelasnya.
Muhammad Abduh melakukan pembaruan dalam pendidikan Islam dengan cara mengintegrasikan antara ilmu umum dengan ilmu agama. Pendidikan baginya bukan hanya bertujuan mengembangkan aspek kognitif (akal) semata, tetapi juga perlu menyelaraskan dengan aspek afektif (moral) dan psikomotorik (keterampilan). Sehingga umat Islam terhindar dari kejumudan, keterbelakangan dalam berfikir dan taklid yang berlebihan.
Selain itu Muhammad Abduh juga berusaha untuk mengangkat martabat perempuan dengan pendidikan. Relevan kiranya hal tersebut diterapkan karena pendidikan adalah segala-galanya. Apalagi perempuan adalah guru pertama bagi umat manusia, sebelum ia mengenal dunia sekolah formal dan masyarakat.
Jadi dengan adanya konsep pembaruan Muhammad Abduh yang mengusung pemurnian Islam dari berbagai pengaruh ajaran dana amalan yang tidak benar yakni dengan Purifikasi, Reformasi, Pembela Islam, dan Reformulasi ini yang melahirkan Muhammad Abduh kepada pemikirannya tentang pendidikan.
Relevansi pemikiran pendidikan Muhammad Abduh dalam konteks pendidikan masa kini atau zaman sekarang adalah sudah atau telah di terapkan di Indonesia maupun diseluruh negara. Karena dari segi tujuan pendidikan yang ingin dicapainya yakni tujuan yang mencakup aspek kognitif, afektif, serta psikomotor, telah menjadi tujuan pendidikan di Indonesia bahkan diseluruh negara. Selain itu metode pengajarannya juga sering digunakan pada zaman sekarang yakni metode munazaroh atau diskusi karena selain meningkatkan kemampuan otak yang melahirkan pendapat-pendapat baru yang luas juga meningkatkan kemampuan bersosialisasi.
Dengan adanya pemikiran pendidikan muhammad Abduh yang telah menjadi acuan, maka pendidikan di seluruh negarapun khususnya di Mesir akhirnya terus berbenah dan terus berusaha agar menjadi yang lebih baik lagi.













BAB III
PENUTUP

Nama lengkap Muhammad Abduh adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Ia lahir disebuah kampung bernama Mahallat al-Asr, kawasan Subrakhit, provinsi Al-Bahirah  Mesir pada tahun 1849 M/1266 H dan wafat pada tahun 1905 M/1322 H. Muhammad Abduh adalah seorang pemikir, teolog, mufti, dan pembaru Islam di Mesir pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Ia dilahirkan dalam situasi dimana dunia Barat gencar-gencarnya melakukan kegiatan ekspansi ke daerah-daerah Islam, termasuk Mesir.
Pemikiran Muhammad Abduh tentang pendidikan yang pertama mencakup tujuan pendidikan, menurut Abduh tujuan pendidikan adalah mendidik akal dan jiwa dan menyampaikannya pada batas – batas kemungkinan seorang mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Jadi yang ingin dicapai oleh Muhammad Abduh adalah tujuan yang mencakup aspek kognitif (akal) dan aspek afektif (spritual). Yang kedua kurikulum. Kurikulum yang dirumuskannya adalah pada tingkat sekolah dasar diberikannya pelajaran agama, pada tingkat menengah terdapat pelajaran mantik dan dasar – dasar penalaran, dan pada tingkat atas terdapat pelajaran tentang ilmu filsafat, logika, dan pengetahuan modern. Dan ketiga metode pengajarannya, ia mengubah metode menghafal dengan metode rasional dan pemahaman (Insight). Ia juga menghidupkan kembali metode munazarah dalam memahami ilmu pengetahuan dan menjauhkan metode taqlid buta terhadap para ulama’.
Muhammad Abduh memberikan gagasannya tentang sistem dan struktur lembaga pendidikan, usaha yang dilakukannya adalah dengan melakukan lintas disiplin ilmu antar kurikulum madrasah dan sekolah. Selain itu ia juga memberikan gagasan tentang pendidikan perempuan yang menurutnya mempunyai hak yang sama dengan laki-laki baik dalam hal yang bersifat keduniaan maupun keagamaan.

DAFTAR PUSTAKA

Assegaf, Abdurrachman dan Suryadi. 2008. Pendidikan Islam Mazhab Kritis. Yogyakarta: Gama Media.
Iqbal, Muhammad dan Amin Husein Nasution. 2010. Pemikir Politik Islam: Dari Masa Klasik Higga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Kencana.
Kurniawan, Syamsul dan Erwin Mahrus. 2011. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Nizar, Samsul. 2007. Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia. Jakarta: Kencana.
Ramayulis dan Samsul Nizar. 2005. Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: Quantum Teaching.
Arifin, Muhammad. 2012. “Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Abduh”. http://arjah.blogspot.com/2012/04/pemikiran-pendidikan-islam-muhammad.html. diakses tanggal 05/03/2013.
Purwanto, Joko. 2011. “Pemikiran Pendidikan Muhammad Abduh”. http://blog.uin-malang.ac.id/jokopurwanto/2011/05/01/pemikiran-pendidikan-muhammad-abduh/. diakses tanggal 08/03/2013.




[1]Abdurrachman Assegaf dan Suryadi, Pendidikan Islam Mazhab Kritis (Yogyakarta: Gama Media, 2008), hal. 19.
[2] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikir Politik Islam: Dari Masa Klasik Higga Indonesia Kontemporer (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 68 – 69.
[3]Abdurrachman Assegaf dan Suryadi,  Op. Cit., hal. 21.
[4]Muhammad Arifin, “Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Abduh”, http://arjah.blogspot.com/2012/04/pemikiran-pendidikan-islam-muhammad.html, (04/04/2013), diakses tanggal 05/03/2013.
[5] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007) hal. 240.
[6] Abdurrachman Assegaf dan Suryadi, Pendidikan Islam Mazhab Kritis (Yogyakarta: Gama Media, 2008), hal. 19.
[7]Muhammad Arifin, “Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Abduh”, http://arjah.blogspot.com/2012/04/pemikiran-pendidikan-islam-muhammad.html, (04/04/2013), diakses tanggal 05/03/2013.
[8] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007) hal. 246 – 247.
[9]Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011) hal.123
[10]Muhammad Arifin, “Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Abduh”, http://arjah.blogspot.com/2012/04/pemikiran-pendidikan-islam-muhammad.html, (04/04/2012), diakses tanggal 05/03/2013.
[11]Ramayulis dan Samsul Nizar, Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: Quantum Teaching, 2005) hal. 47 - 48

[12]Joko Purwanto, “Pemikiran Pendidikan Muhammad Abduh”, http://blog.uin-malang.ac.id/jokopurwanto/2011/05/01/pemikiran-pendidikan-muhammad-abduh/, (01/05/2011), diakses tanggal 08/03/2013.

[13]Ramayulis dan Samsul Nizar, Op. Cit., hal. 46
[14]Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007) hal. 250-251

Tidak ada komentar:

Posting Komentar